Rabu, 26 Juni 2013

Moga Bunda Disayang Allah


RESENSI NOVEL
Moga Bunda Disayang Allah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Membaca Komprehensif
Dosen Pengampu : M. Fakhrur Syaifudin, M. Pd





Disusun oleh:
Umi Lestariningsih        A310120020



PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012

Latar Belakang
1.              Disini saya akan sedikit menjelaskan tentang idenstitas novel ini.
2.              Judul                              : Moga Bunda Disayang Allah
3.              Penulis                           : Tere Liye
4.              Penerbit                         : Republika
5.              Jumlah Halaman           : 247
6.              Jenis Cover                   : Soft Cover
7.              Dimensi (PxL)              : 20,5 x 13,5 cm
8.              Text Bahasa                  : Indonesia
9.              Tahun                            : 2009 ( cetakan ke-5)
Sinopsis
Dalam Novel ini diceritakan seorang anak bernama Melati penderita buta dan tuli untuk bisa mengenali dunia, dan juga perjuangan seorang Pemuda bernama Karang untuk bisa keluar dari perasaan bersalah setelah kematian 18 anak didiknya dalam kecelakaan kapal.
Melati bocah berusia 6 tahun yang buta dan tuli sejak dia berusia 3 tahun. Selama 3 tahun ini dunia melati gelap. Dia tidak memiliki akses untuk bisa mengenal dunia dan seisinya. Mata, telinga semua tertutup baginya. Melati tidak pernah mendapatkan cara untuk mengenal apa yang ingin dikenalnya. Rasa ingin tahu yang dipendam bertahun tahun itu akhirnya memuncak, menjadikan Melati menjadi frustasi dan sulit dikendalikan. Melati hanya bisa mengucap Baa dan Maa. Orang tuanya berusaha berbagai macam cara untuk bisa mengendalikan Melati. Bahkan tim dokter ahli yang diundang oleh orang tuanya tidak berhasil mengendalikan Melati.
Pak Guru karang, seorang pemuda yang suka mabuk dan sering bermurung diri dikamar rumah ibu gendut yang akhirnya menjadi guru Melati. Karang sebenarnya hampir kehilangan semangat hidupnya setelah 18 anak didiknya tewas dalam kecelakaan perahu. Perasaan bersalahnya hampir setiap hari menghantuinya selama 3 tahun terakhir. Dia bahkan hampir tidak berminat ketika ibunya Melati memintanya untuk membimbing Melati. Tapi demi cintanya terhadap anak-anak Karang akhirnya datang memenuhi permintaan ibunya Melati.
Tidak mudah untuk menemukan metode pengajaran bagi Melati. Bagaimana caranya Melati bisa mendengar apa yang dikatakan Karang ? Bagaimana caranya Melati bisa melihat? Bahkan untuk menangis saja Melati tidak bisa menemukan kosakata yang benar. Dunia Melati benar-benar gelap. Melati tidak mempunyai akses untuk tahu. Tidak mempunyai cara untuk mengenal apa yang ingin dia kenal. Setiap kali ada yang menyentuh tubuh Meklati maka dia akan marah, mengamuk dan meklemparkan apa saja yang tercapai oleh tangannya.
Karang hampir putus asa. Lalu keajaiban datang ketika air mancur membasuh lembut telapak tangan Melati. Melati merasakan aliran air di sela jemarinya. Saat itulah untuk pertama kalinya Karang melihat Melati tertawa. Karang akhirnya mengerti, melalui telapak tangan itulah karang menuliskan kata Air, dan meletakkan telapak tangan Melati kemulutnya dan berkata A-I-R. Melati akhirnya mengerti benda yang menyenangkan itu bernama air. Melalui telapak tangan Melati, air mancur yang mengalir di tangan dan sela-sela jarinya berhasil mencukilnya. Melalui telapak tangan itulah semua panca indera disitu. Akhirnya dunia Melati tidak lagi gelap. Dia bisa mengenali orang tuanya, dia bisa mengenali kursi, sendok, pohon dan sebagainya.

Riwayat pengarang
            Tere Liye merupakan nama pena dari seorang novelis yang diambil dari bahasa india yang berarti “Untukmu”. Tere Liye lahir dan besar di pedalaman Sumatera, pada tanggal 21 Mei 1979, dia anak keenam dari tujuh bersaudara. Dia terlahir dari keluarga petani, Tere Liye menyelesaikan masa pendidikan dasar sampai SMP, di SDN2 dan SMN2 Kikim Timur, Sumatera Selatan, kemudian melanjutkan ke SMUN 9 Bandar Lampung, setelah itu ia meneruskan ke Universitas Indonesia dan mengambil jurusan Ekonomi.
            Karya-karya Tere Liye sangatlah menyentuh hati, bila kita membaca novelnya, contohnya saja novel Moga Bunda Disayang Allah, kita bisa mengetahui bagaimana rasanya jika kita tidak bisa melihtai dan mendengar. Pasti akan sangat tersiksa.
 Berikut karya-karya Tere Liye yang lain :
1.              Daun yg Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka Umum, 2010)
2.              Pukat (Penerbit Republika, 2010)
3.              Burlian (Penerbit Republika, 2009)
4.              Hafalan Shalat Delisa (Republika, 2005)
5.              Moga Bunda Disayang Allah (Republika, 2007)
6.              Bidadari-Bidadari Surga  (Republika, 2008)
7.              Sang Penandai (Serambi, 2007)
8.              Rembulan Tenggelam Di Wajahmu (Grafindo, 2006; Republika 2009)
9.              Mimpi-Mimpi Si Patah Hati (AddPrint, 2005)
10.          Cintaku Antara Jakarta & Kuala Lumpur (AddPrint, 2006)
11.          Senja Bersama Rosie (Grafindo, 2008)
12.          ELIANA ,serial anak-anak mamak
13.          Berjuta Rasanya (Republika, 2012)
14.          Sepotong hati yang baru (Republika, 2012)

Kelebihan :
Pengarang menciptakan karakter Melati, Bunda dan Karang dalam sosok masing-masing yang tidak bisa dibedakan mana yang lebih pantas disebut sebagai tokoh utama. Di sini benar-benar terasa adanya tiga tokoh utama yang memiliki kedudukan sama sebagai agen penderita, agen perubahan, dan agen pencerahan. Menyadarkan kita bahwa manusia dalam kedudukannya sendiri-sendiri sebenarnya sedang melakoni peran penting dalam kehidupan nyata. Cerita ini menyuguhkan perjuangan hidup yang tidak mudah yang dialami oleh anak-anak. Baik itu Karang yang yatim piatu maupun Melati dengan segala kekurangannya. Namun ada satu kesamaan antara mereka, anak-anak selalu punya janji masa depan yang lebih baik.Penulis berulang kali mengungkapkan kalimat yang mengingatkan pembaca untuk bersabar dan bersyukur “Hidup ini adil, sungguh Allah Maha Adil, kitalah yang terlalu bebal sehingga tidak tahu dimana letak keadilanNya, namun bukan berarti Allah tidak adil”.
Kekurangan :
Cerita ini ditulis dalam gaya bahasa sehari-hari yang tidak baku. Penggunaan berulang-ulang kosakata yang tidak baku serta kalimat tambahan yang tidak perlu mengganggu kenyamanan dalam membaca. Seperti penggunaan kata “ibu-ibu gemuk” yang artinya menunjuk pada seorang ibu yang bertubuh subur dan kata “anak-anak” untuk penunjukan kata benda seorang anak.Pilihan penulis dalam penempatan setting dan kegiatan pendukung dalam novel terasa kurang tepat. Dalam novel semua tokoh digambarkan sebagai orang-orang muslim dengan segala aktivitas dan atribut mereka, namun pada ending cerita penulis menciptakan suasana pesta kembang api yang dirayakan pada tahun baru Imlek oleh masyarakat termasuk para tokoh novel. Alih-alih menyebutkan secara jelas kota atau negara terjadinya peristiwa dalam novel, sejak awal penulis hanya menyebutkan tempat-tempat semu: “rumah di atas bukit”, “daerah jauh dari ibukota”, “Tuan dan Bunda HK”. Jadi tidak terlihat jelas keberagaman budaya atau mayoritas budaya penduduk yang ada di daerah tempat tinggal tokoh Melati, sehingga kurang ada alasan tepat jika penulis dengan tiba-tiba memasukkan salah satu kegiatan tahunan keluarga Melati adalah merayakan tahun baru China

Pembanding novel

Resensi Novel

1.              Judul Buku                    : Hafalan Shalat Delisa
2.              Pengarang                      : Darwis Tere Liye
3.              Penerbit                         : Republika
4.              Tahun Terbit                  : XIII, Januari 2011
5.              Tebal Buku                    : 266 Halaman

Sinopsis
Novel ini menceritakan Delisa seorang gadis berumur 6 tahun yang tinggal di Lhok-Nga Aceh bersama Umi Salamah, kak Fatimah, kak Zahra dan kak Aisyah. Sedangkan Abi Usman jarang berada dirumah karena ada pekerjaan yang mengharuskan abi Usman pergi dari satu kota ke kota yang lainnya.
Keluarga kecil  tersebut hidup dengan sangat bahagia dan harmonis. Setiap pagi, umi Salamah selalu membangunkan malaikat kecil untuk shalat subuh berjamaah. Kak Zahra dan kak Fatimah yang biasanya membangunkan Delisa untuk shalat, karena Delisa sangat sulit bangun pagi. Setiap shalat berjamaah, umi Salamah selalu menjadi iman dan kak Aisyah selalu mendapatkan tugas untuk membaca bacaan shalat dengan keras agar Delisa dapat mengikuti bacaan shalat tersebut. Pagi hari setelah matahari terbit dengan cantiknya di Lhok-Ngah, Aceh umi Salamah berjanji memberikan kalung apabila Delisa berhasil menghafal bacaan shalat dengan khu’su.
26 Desember 2004, Malangnya, ketika Delisa sedang menghafal bacaan shalat tersebut tiba-tiba gempa datang lalu disusul dengan datangnya air laut yang pada saat itu langsung meluluhkan kota Lhok-Ngah hanya dalam beberapa menit. Setelah bencana tersebut berhasil menyapu seluruh kota Lhok-Ngah, banyak warga yang hilang termasuk seluruh keluarga Delisa. Umi Salamah, Kak Fatimah, kak Zahra & kak Aisyah pun ikut tewas dalam bencana tersebut. Sedangkan Delisa hilang tersapu oleh derasnya ombak tsunami yang datang. Setelah beberapa hari Delisa dikabarkan hilang, tim SAR yang membantu mengevakuasi kota Lhok-Ngah menemukan Delisa dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Delisa dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa. Tak lama Delisa diperiksa oleh suster Shopia, Delisa pun sadar dan mengetahui bahwa kakinya harus diamputasi. Abi Usman yang mengetahui bencana yang terjadi di Aceh, langsung buru-buru pulang untuk mencari keluarga kecilnya tersebut. Setelah lalu lalang mencari keluarganya, sang tetangga pun memberitahu bahwa umi Salamah, kak Fatimah, kak Zahra & kak Aisyah sudang tewas dalam bencana. Abi Usman menangis terisak mendengar kabar buruk itu. Sang tetangga juga memberi tahu bahwa Delisa hilang ketika tsunami terjadi hari minggu pagi tersebut. Abi Usman masih mempunyai semangat untuk mencari satu malaikat kecilnya yang mungkin saja masih hidup pada saat itu. Beberapa hari abi Usman mencari Delisa, akhirnya abi Usman berhasil menemukan Delisa setelah melihat berita di tv. Tanpa pikir panjang, abi Usman langsung menghampiri Delisa dan bersyukur melihat Delisa selamat dari kejadian itu. Setelah beberapa minggu setelah tsunami di Aceh, Delisa menemukan mayat umi Salamah yang telah menjadi kerangka dan menggenggam hadiah yang Delisa inginkan. Saat itu, Delisa tersadar bahwa keikhlasan lah yang mampu membuat Delisa mampu menghafal bacaan shalat. Bukan untuk kalung tersebut namun untuk mendoakan umi Salamah, kak Fatimah, kak Zahra & kak Aisyah di surga.
Persamaan Antara Novel “Moga Bunda Disayang Allah” dan novel “Hafalan Sholat Delisa” yaitu :
Kedua novel ini sama-sama menceritakan seorang anak kecil yang bernama Melati dan Delisa yang hidup dalam keterbatasan.
Dalam novel yang pertama “ Moga Bunda Disayang Allah” menceritakan seorang gadis kecil bernama Melati yang cacat sejak usia 3tahun, dia buta dan tuli. Dia hanya bisa berucap Baa dan Maa. Melati selalu marah dan mengamuk jika ada yang menyentuhnya, hingga akhirnya suatu hari orangtuanya menyuruh Pak Guru Karang untuk dapat membantu Melati agar bisa mengerti dunia Luar, hingga akhirnya sekarang Melati mampu mengetahui seperti apa dunia luar itu berkat pak guru karang.
Dalam novel yang kedua “Hafalan Surat Delisa” menceritakan seorang gadis kecil bernama Delisan yang harus kehilangan kakinya akibat Bencana Tsunami berkekuatan 8,9 SR. Delisa juga kehilangan seluruh anggota keluarganyanya Umi Salamah, kak Fatimah, kak Zahra & kak Aisyah di surga, kecuali ayahnya.